Indonesia bukan hanya terkenal sebagai negara terkorup di dunia, melainkan
juga negara dengan carder tertinggi di muka bumi, setelah Ukrania. Carder
adalah penjahat di internet, yang membeli barang di toko maya (online shoping)
dengan memakai kartu kredit milik orang lain.
Meski pengguna internet Indonesia masih sedikit dibanding negara Asia
Tenggara lainnya, apalagi dibanding Asia atau negara-negara maju, nama warga
Indonesia di internet sudah “ngetop” dan tercemar! Indonesia masuk blacklist di
sejumlah online shoping ternama, khususnya di amazon.com dan ebay.com Kartu
kredit asal Indonesia diawasi bahkan diblokir.
Sesungguhnya, sebagai media komunikasi yang baru, internet memberikan sejuta
manfaat dan kemudahan kepada pemakainya. Namun internet juga mengundang ekses
negatif, dalam berbagai tindak kejahatan yang menggloblal. Misalnya, tindak
penyebaran produk pornorgrafi, pedofilia, perjudian, sampah (spam), bermacam
virus, sabotase, dan aneka penipuan, seperti carding, phising, spamming, dll.
Yang gawat, nama negara terseret karenanya
Berikut sejumlah jenis kejahatan via internet
CARDING
Carding adalah berbelanja menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang
lain, yang diperoleh secara ilegal, biasanya dengan mencuri data di internet.
Sebutan pelakunya adalah Carder. Sebutan lain untuk kejahatan jenis ini adalah
cyberfroud alias penipuan di dunia maya.
Menurut riset Clear Commerce Inc, perusahaan teknologi informasi yang
berbasis di Texas – AS , Indonesia memiliki carder terbanyak kedua di dunia
setelah Ukrania.
Sebanyak 20 persen transaksi melalui internet dari Indonesia adalah hasil
carding.
Akibatnya, banyak situs belanja online yang memblokir IP atau internet
protocol (alamat komputer internet) asal Indonesia. Kalau kita belanja online,
formulir pembelian online shop tidak mencantumkan nama negara Indonesia.
Artinya konsumen Indonesia tidak diperbolehkan belanja di situs itu.
Menurut pengamatan ICT Watch, lembaga yang mengamati dunia internet di
Indonesia, para carder kini beroperasi semakin jauh, dengan melakukan penipuan
melalui ruang-ruang chatting di mIRC. Caranya para carder menawarkan
barang-barang seolah-olah hasil carding-nya dengan harga murah di channel.
Misalnya, laptop dijual seharga Rp 1.000.000. Setelah ada yang berminat, carder
meminta pembeli mengirim uang ke rekeningnya. Uang didapat, tapi barang tak
pernah dikirimkan.
HACKING
Hacking adalah kegiatan menerobos program komputer milik orang/pihak lain.
Hacker adalah orang yang gemar ngoprek komputer, memiliki keahlian membuat dan
membaca program tertentu, dan terobsesi mengamati keamanan (security)-nya.
Hacker memiliki wajah ganda; ada yang budiman ada yang pencoleng.
Hacker Budiman memberi tahu kepada programer yang komputernya diterobos,
akan adanya kelemahan-kelemahan pada program yang dibuat, sehingga bisa
“bocor”, agar segera diperbaiki. Sedangkan, hacker pencoleng, menerobos program
orang lain untuk merusak dan mencuri datanya.
CRACKING
Cracking adalah hacking untuk tujuan jahat. Sebutan untuk cracker adalah hacker
bertopi hitam (black hat hacker). Berbeda dengan carder yang hanya mengintip
kartu kredit, cracker mengintip simpanan para nasabah di berbagai bank atau
pusat data sensitif lainnya untuk keuntungan diri sendiri.
Meski sama-sama menerobos keamanan komputer orang lain, hacker lebih fokus
pada prosesnya. Sedangkan cracker lebih fokus untuk menikmati hasilnya.
Pekan lalu, FBI bekerja sama dengan polisi Belanda dan polisi Australia
menangkap seorang cracker remaja yang telah menerobos 50 ribu komputer dan
mengintip 1,3 juta rekening berbagai bank di dunia. Dengan aksinya, cracker
bernama Owen Thor Walker itu telah meraup uang sebanyak Rp1,8 triliun. Cracker
18 tahun yang masih duduk di bangku SMA itu tertangkap setelah aktivitas
kriminalnya di dunia maya diselidiki sejak 2006.
DEFACING
Defacing adalah kegiatan mengubah halaman situs/website pihak lain, seperti
yang terjadi pada situs Menkominfo dan Partai Golkar, BI baru-baru ini dan
situs KPU saat pemilu 2004 lalu. Tindakan deface ada yang semata-mata iseng,
unjuk kebolehan, pamer kemampuan membuat program, tapi ada juga yang jahat,
untuk mencuri data dan dijual kepada pihak lain.
PHISING
Phising adalah kegiatan memancing pemakai komputer di internet (user) agar mau
memberikan informasi data diri pemakai (username) dan kata sandinya (password)
pada suatu website yang sudah di-deface. Phising biasanya diarahkan kepada
pengguna online banking. Isian data pemakai dan password yang vital yang telah
dikirim akhirnya akan menjadi milik penjahat tersebut dan digunakan untuk
belanja dengan kartu kredit atau uang rekening milik korbannya.
SPAMMING
Spamming adalah pengiriman berita atau iklan lewat surat elektronik (e-mail)
yang tak dikehendaki. Spam sering disebut juga sebagai bulk email atau junk
e-mail alias “sampah”. Meski demikian, banyak yang terkena dan menjadi
korbannya. Yang paling banyak adalah pengiriman e-mail dapat hadiah, lotere,
atau orang yang mengaku punya rekening di bank di Afrika atau Timur Tengah,
minta bantuan netters untuk mencairkan, dengan janji bagi hasil.
Kemudian korban diminta nomor rekeningnya, dan mengirim uang/dana sebagai
pemancing, tentunya dalam mata uang dolar AS, dan belakangan tak ada kabarnya
lagi. Seorang rektor universitas swasta di Indonesia pernah diberitakan tertipu
hingga Rp1 miliar dalam karena spaming seperti ini.
MALWARE
Malware adalah program komputer yang mencari kelemahan dari suatu software.
Umumnya malware diciptakan untuk membobol atau merusak suatu software atau
operating system. Malware terdiri dari berbagai macam, yaitu: virus, worm,
trojan horse, adware, browser hijacker, dll. Di pasaran alat-alat komputer dan
toko perangkat lunak (software) memang telah tersedia antispam dan anti virus,
dan anti malware .
Meski demikian, bagi yang tak waspadai selalu ada yang kena. Karena pembuat
virus dan malware umumnya terus kreatif dan produktif dalam membuat program
untuk mengerjai korban-korbannya.
poskota.co.id
UPAYA
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN INTERNET (CYBERCRIME) DI INDONESIA
Pencegahan dan
Penanggulangan Cybercrime dengan Sarana Penal
Indonesia saat
ini masih membahas Rancangan Undang-undang mengenai cybercrime. Model yang
digunakan adalah Umbrella Provision sehingga ketentuan cybercrime tidak dalam
perundang-undangan tersendiri, tetapi diatur secara umum dalam Rancangan
Undang-Undang Teknologi Informasi. Pasal-pasal yang menyangkut ketentuan pidana
adalah Pasal 29 – Pasal 40. Khusus mengenai hacking, selain diatur secara
tersendiri dalam Pasal 31, sebenarnya pasal-pasal lain dapat juga dikenakan
pasal Hacking tersebut karena hacking merupakan first crime.
Menurut Barda
Nawawi Arief, kebijakan yang ditempuh sementara dalam konsep 2000 yang
berkaitan dengan kegiatan di Cyberspace adalah sebagai berikut : Dalam Buku I
(Pasal 174) yang didalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan
program komputer, jasa telepon atau telekomunikasi atau jasa komputer.
Pengertian
“barang” (Pasal 174) yang didalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data
dan program komputer, jasa telepon atau telekomunikasi atau jasa komputer.
Pengertian
“anak kunci” (Pasal 178) yang didalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk
komputer, kartu magnetik, sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu.
Maksud dari anak kunci ini kemungkinan besar adalah password atau kode-kode
tertentu seperti privat atau public key infrastucture.
Pengertian
“Surat” (pasal 188) termasuk data tertulis atau tersimpan dalam disket, pita
magnetik, media penyimpanan komputer atau penyimpanan data elektronik lainnya.
Pengertian
“ruang” (Pasal 189) termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat
diakses dengan cara-cara tertentu. Maksud dari ruang ini kemungkinan termasuk
pula dunia maya atau mayantara atau cyberspace atau virtual reality.
Pengertian
“masuk” (Pasal 190) termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem
komputer. Ada 2 (dua) pengertian masuk, yaitu masuk ke internet dan masuk ke
situs.
Pengertian
“jaringan telepon” (Pasal 191) termasuk jaringan komputer atau sistem
komunikasi komputer.
Menurut Yusril
Ihza Mahendra mengenai penggunaan hukum pidana dan kriminalisasi suatu
perbuatan menjadi tindak pidana yaitu sebagai berikut:
Hukum pidana
harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, merata materiil
dan spirituil. Hukum pidana bertugas untuk menanggulangi kejahatan dan juga
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri untuk kesejahteraan
masyarakat atau untuk pengayoman masyarakat.
Hukum pidana
digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian pada masyarakat. Penggunaan sarana hukum
pidana dengan sanksi yang negatif perlu disertai dengan perhitungan biaya yang
harus dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan dicapai (cost and benefit
principle).
Dalam pembuatan
peraturan hukum pidana perlu diperhatian kemampuan daya kerja dari badan-badan
tersebut, jangan sampai ada kelampauan beban tugas atau over belasting.
Pencegahan dan
Penanggulangan Cybercrime dengan Sarana Non Penal
Meskipun hukum
pidana digunakan sebagai ultimum remidium atau alat terakhir apabila bidang
hukum yang lain tidak dapat mengatasinya, tetapi harus disadari bahwa hukum
pidana memiliki keterbatasan kemampuan dalam menanggulangi kejahatan.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi
Arief adalah sebagai berikut:
Sebab-sebab
kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana.
Hukum pidana
hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak
mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis,
sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya).
Penggunaan
hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “Kurieren am
symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik”
dan bukan “pengobatan kausatif”.
Sanksi hukum
pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan
mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif.
Sistem
pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat
struktural/fungsional.
Keterbatasan
jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan
imperatif.
Bekerjanya/berfungsinya
hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih
menuntut “biaya tinggi”.
Sebaiknya
dikembangkan sarana-sarana pemidanaan dengan kebijakan non penal. Cyber crime
adalah kejahatan yang termasuk dalam kategori kerah putih (white collar crime)
dimana pelaku adalah orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki kemampuan
teknis cukup tinggi. Pengembangan sarana-sarana pemidanaan non penal akan
memberikan kontribusi kepada negara dalam bentuk tenaga kerja ahli apabila
mereka diwajibkan kerja sosial di lembaga-lembaga yang ditunjuk, atau membayar
denda yang cukup besar, sehingga negara mendapat pemasukan.